AKUNTANSI INTERNASIONAL
NAMA : DWI AYU WULANDARI
NPM : 26209160
KELAS : 4EB15
Masalah Pendidikan Di Indonesia
Masalah pendidikan
adalah masalah yang benar – benar harus diselesaikan. Dikarenakan Indeks
Pembangunan Pendidikan Untuk Semua atau education
for all (EFA) di Indonesia selalu mengalami penurunan tiap
tahunnya. Pada tahun 2011 Indonesia berada diperingkat 69 dari 127 negara dan
merosot 4 posisi bila dibandingkan dengan tahun 2010 yang berada pada posisi
65. Indeks yang dikeluarkan pada tahun 2011 oleh UNESCO
ini lebih rendah bila dibandingkan dengan Brunei Darussalam (34), serta terpaut
empat peringkat dari Malaysia (65). Salah satu faktor yang menyebabkan
rendahnya indeks pembangunan pendidikan di
Indonesia adalah tingginya jumlah anak yang putus sekolah. Kurang lebih ada
setengah juta anak usia sekolah dasar (SD) dan 200 ribu anak usia sekolah
menengah pertama (SMP) yang tidak dapat melanjutkan pendidikan. Data pendidikan
tahun 2010 juga menyebutkan 1,3 juta anak usia 7-15 tahun terancam putus
sekolah. Bahkan laporan Departeman
Pendidikan dan Kebudayaan menunjukan bahwa setiap menit ada empat anak yang
putus sekolah.
Peran
Pendidikan dalam Pembangunan
Peran pendidikan dalam
pembangunan adalah menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan beberapa
tahun kedepan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan
tuntutan zaman. Perkembangan zaman selalu memunculkan persoalan-persoalan baru
yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Bab ini akan membahas mengenai
permasalahan pokok pendidikan, dan saling keterkaitan antara pokok tersebut,
faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual
beserta cara penanggulangannya. Apa jadinya bila pembangunan di Indonesia tidak
dibarengi dengan pembangunan di bidang pendidikan?. Walaupun pembangunan
fisiknya baik, tetapi apa gunanya bila moral bangsa terpuruk. Jika
hal tersebut terjadi, bidang ekonomi akan bermasalah, karena tiap orang akan
korupsi. Sehingga lambat laun akan datang hari dimana negara dan bangsa ini
hancur. Oleh karena itu, untuk pencegahannya, pendidikan harus dijadikan salah
satu prioritas dalam pembangunan negeri ini.
Mewujudkan
Pendidikan yang Berkualitas
Kalimat yang sering muncul dan
diduga menjadai salah satu faktor yang mempengaruhi tentang perkembangan
pendidikan adalah.”Pendidikan
bermutu itu mahal”. Salah satu alasan yang membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan
lain kecuali tidak bersekolah adalah karena Mahalnya biaya pendidikan dari
Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT). Bahkan dari faktor
tersebut melahirkan slogan “Orang miskin tidak boleh sekolah”. Saat ini saja
membutuh biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000 untuk bisa masuk TK dan SDN.
Bahkan ada yang memungut sampai di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa
mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta. Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang
ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis
Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya
untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan
yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya,
pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite
Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok “sesuai keputusan
Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak
transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah
adalah orang-orang yang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah
hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi
legitimasi dari pelepasan tanggung jawab Negara.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Melemahnya
Peran Negara Dalam Sektor Pelayanan Publik
Semakin melemahnya peran negara
dalam sektor pelayanan publik atau Privatisasi tak lepas dari tekanan utang dan
kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang Indonesia kepada luar negeri
sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong
privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti
pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen
(Kompas, 10/5/2005).
Dalam catatan APBN pada tahun
2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana
untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN . Rencana Pemerintah
memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan
Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP
tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat
dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara atau satuan pendidikan
formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum
pendidikan. Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk
diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network
for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan
privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi
pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke
pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan
sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya
setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses
rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi
dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang
kaya dan miskin. Hal serupa juga dituturkan oleh pengamat ekonomi Revrisond
Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme
global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank
Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP),
pemerintah berencana memprivatisasikan pendidikan. Semua satuan pendidikan
kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber
dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga
perguruan tinggi.
Beberapa masyarakat tertentu
menganggap, bahwa beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum
Milik Negara (BHMN). Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal,
maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan
di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu
namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan
biaya pendidikan. Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau
tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang
seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk
menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat
bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya
Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana
tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.
Demikian sedikit ulasan mengenai
permasalahan tentang pendidikan yang terjadi di Indonesia, semoga artikel ini
bisa menjadi pendorong bagi para pembaca agar lebih peduli betapa pentingnya
peran pendidikan dalam pembangunan.
http://daunsingkong.com/masalah-pendidikan-di-indonesia/
Dampak Dari permasalahan Pendidikan
Karena mahalnya biaya pendidikan
di Indonesia banyak anak-anak tidak bisa melanjutkan duduk dibangku sekolah,
sehingga mengakibatkan banyak anak-anak yang tidak bisa bersekolah menjadi
gelandangan dan pengemis untuk bisa melanjutkan hidupnya. Walaupun pemerintah
sudah memberikan program sekolah gratis dengan adanya dana BOS namun tetap saja
belum dapat dirasakan oleh anak-anak untuk bisa bersekolah.
Solusi
Permasalahan Pendidikan
Hingga saat ini, perhatian
pemerintah kita akan masalah pendidikan masih sangat minim. Fakta ini merupakan
kesimpulan dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa
masih rendah, pengajar kurang profesional,
biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Pendidikan yang
buruk itu akan berdampak besar pada negara kita, yang mana cepat atau lambat
negara kita akan terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya
rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi,
maupun kota dan kabupaten.
Dalam menyelesaikan masalah
pendidikan jangan sampai monoton, tetapi harus dilakukan dengan langkah
atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan
kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya
Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar
Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat
kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana
pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan
tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum
mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut,
bila tidak ada perubahan kebijakan yang
signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang
ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global. Kondisi ideal dalam
bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga
tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal
tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu,
setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia
pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, nantinya akan terjadi sebuah
ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah – olah sekolah hanya milik
orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah
dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai
beasiswa sangatlah minim. Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya
memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum
yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak
berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah
sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya
tidak dapat menunjang bangku persekolahan.
www.studentsite.gunadarma.ac.id